JAKARTA, KOMPAS.com - Memboomingnya ojek berbasis online pada 2015 menimbulkan dampak positif dan negatif.
Warga Jakarta yang membutuhkan angkutan cepat menembus kemacetan tentu saja sangat terbantu dengan keberadaan ojek online. Tetapi dampak lainya, mereka juga menimbulkan kemacetan.
Berikut plus minus keberadaan ojek online di Jakarta selama ini:
1. Mempermudah warga
Sebagian besar pengguna jasa ojek online mengaku dimudahkan dengan layanan jemput di lokasi. Mereka tidak perlu repot-repot mencari pangkalan ojek lagi. Cukup memesan layanan melalui layar smartphone, pengemudi ojek online siap mengantar
2. Menghemat ongkos
Adanya promosi yang dibuat oleh para perusahaan ojek online membawa keuntungan pada konsumen.
Seperti Go-Jek dan Grab Bike. Dengan memberi promo tarif flat, keduanya memanjakan konsumennya dengan tarif flat sekitar Rp 5.000 hingga Rp 15.000 dalam jarak km tertentu.
"Saya biasanya kalau ke kantor naik ojek yang dekat rumah, tapi sekarang lebih nyaman naik ojek online. Lebih murah soalnya, bisa hemat berapa ribu, lumayan," kata Toto (34), seorang karyawan yang berkantor di Jakarta Selatan.
3. Lapangan kerja
Pendapatan ojek online yang lumayan dibandingkan ojek pangkalan, cukup menggiurkan. Ojek pangkalan yang melihat peluang ini memilih bergabung dengan ojek online.
Bahkan, ketika gembar-gembor pendapatan dari ojek online hingga puluhan juta sebulannya, beberapa pegawai swasta tertarik bergabung sebagai pekerjaan sampingan.
Bahkan, ada yang rela meninggalkan pekerjaannya sebagai manajer sebuah perusahaan, karena tergiur dengan pendapatan yang lumayan besar.
Seperti pengojek Grab Bike, Rudianto (26). Sejak bergabung dengan Grab Bike, 20 Mei 2015 lalu, pendapatan terbesar Rudianto dalam sebulan bisa mencapai Rp 23 juta. Wow!
4. Menambah Kemacetan
Meski mengklaim diri berbeda dengan ojek pangkalan, kenyataan di lapangan, pengojek online tetap membuat beberapa pangkalan atau memang mangkal di sebuah tempat sambil menunggu order dari konsumen. Tidak jarang, trotoar hingga badan jalan jadi tempat mangkal pengojek online.
Kondisi ini sampai membuat Polda Metro Jaya dan Dishubtrans DKI Jakarta sepakat untuk menindak tegas para pengojek online yang mangkal, terutama di trotoar.
Salah satu tempat favorit untuk mangkal para pengojek online adalah di depan Mal Taman Anggrek dan depan Central Park, Jakarta Barat.
Salah satu pengojek online yang mangkal di sana, Rudi (36), mengaku sengaja berada di sana sejak pukul 16.00 WIB hingga 20.00 WIB. Menurut dia, lebih mudah untuk mengambil order jika menetap di sana karena konsumen yang memesan dari apartemen Mal Taman Anggrek dan sekitarnya cukup banyak.
5. Konflik dengan ojek pangkalan
Dinamika antara pengojek online dengan pengojek pangkalan yang lebih "senior" beberapa kali terjadi. Dengan layanan ojek online yang tampak lebih laku, pengojek pangkalan merasa terintimidasi.
Tempat yang paling terlihat konflik antara pengojek online dengan pengojek pangkalan adalah di Apartemen Kalibata City, Pancoran, Jakarta Selatan. Di pintu masuk saja, ada papan pengumuman yang mengatasnamakan komunitas ojek pangkalan di sana menolak Go-Jek dan Grab Bike. Konflik antara keduanya sampai memicu kontak fisik hingga perkelahian.
Konflik pengojek online dan pengojek pangkalan tidak berlangsung lama. Kini, kebanyakan pengojek pangkalan sudah mau bergabung dengan perusahaan ojek online.
Mereka yang masih bertahan sebagai pengojek pangkalan, sudah bisa menerima keberadaan pengojek online yang dianggap memiliki konsumen berbeda.
Sumber : http://megapolitan.kompas.com/